Pendekatan ini memiliki
sudut pandang yang berbeda dalam mendefinisikan kejahatan. Pendekatan consensus
melihat bahwa masyarakat memiliki satu persepsi atau asumsi yang sama dalam
melihat kejahatan, sementara pendekatan konflik melihat bahwa kejahatan
merupaka satu istilah yang muncul akibat adanya perbedaan-perbedaan gagasan di
masyarakat yang pada dasarnya juga memiliki tingkat dan kelompok kepentingan
yang berbeda pula. Dalam pandangan konflik, kejahatan merupakan satu definisi
yang diberikan oleh kelompok kepentingan yang lebih berkuasa atau dominan
terhadap kelompok kepentingan yang minoritas dengan menerapkan atau menjalankan
satu sistem penghukuman dan opresi bagi yang melanggar peraturan tersebut.
Negara, merupakan salah satu contoh dari ilustrasi bagaimana kelompok dominan
memberikan definisi kejahatan bagi kelompok yang ada di bawahnya atau yang
berbeda dengan kepentingan negara tersebut.
john
Hagan lebih jauh menjelaskan bagaimana kejahatan itu dedfinisikan oleh
negara. Menurutnya, kejahatan, atau penyimpangan, dapat diletakkan pada tingkat
tertentu yang bervariasi berdasarkan konteks norma sosial yang diatur melalui
hukum yang berlaku di satu masyarakat.
John Hagan membagi tiga kategori yang mempengaruhi
pendefinisian kejahatan. Setiap kategori, kuat atau tidaknya, akan mempengaruhi
satu perilaku atau tindakan untuk ditempatkan pada tingkat atas (paling jahat)
atau bawah (tidak kejahatan).
Pertama, berdasarkan tingkat konsensus dan perjanjian
yang disepakati bersama oleh anggota masyarakat. Pada tingkat ini masyarakat
menerima satu perilaku sebagai satu hal yang diyakini benar atau salah menurut
kesepakatan umum. Kedua, tanggapan masyarakat terhadap hukum yang berlaku. Kuat
atau tidaknya perhataian masyarakat terhadap hukum yang menangani satu perilaku
akan mempengaruhi kuat atau tidaknya pula definisi kejahatan bagi tindakan atau
perilaku tersebut yang diyakini oleh masyarakat. Ketiga, tingkat seriusitas
kejahatan berdasarkan penyebab dan akibat yang ditimbulkan kejahatan tersebut.
Usaha yang dilakukan oleh Hagan ini sedikit memberikan
kejelasan bagi kita untuk dapat mendefinisikan atau menakar satu perilaku
apakah termasuk kejahatan atau tidak. Namun demikian, masih terdapat kekurangan
dalam piramida Hagan tersebut. Kekurangannya adalah Hagan tidak memasukkan poin
‘kepedulian masyarakat’ terhadap kejahatan (crime awareness). Hagan
juga tidak mempertimbangkan keberadaan dan posisi korban di dalam piramidanya
serta dimensi keseriusitasan repson atau reaksi dari masyarakat itu sendiri
terhadap kejahatan, hukum, dan korban yang ditimbulkan.
Lantas dicoba disusun sebuah bagan piramida yang lebih
lengkap dengan memperluas cakupan kategori utnuk mendefinisikan kejahatan.
Bagan ini kemudian disebut sebagai Prisma Kejahatan. Prinsip kerjanya, serupa
dengan prisma sebagaiaman mestinya, adalah menguraikan masing-masing faktor
yang dapat dimanfaatkan untuk menakar satu perilaku termasuk dalam tingkat
kejahatan tertentu. Prisma dibagi menjadi dua dimensi, atas dan bawah. Bagian
atas menjleaskan kejahatan yang terlihat, seperti kejahatan jalanan, sedangkan
bagian bahwa menjelaskan kejahatan yang dilakukan oleh pihak yang abstrak,
seperti organisasi, korporasi, pemerintah, yang tidak teridentifikasi secara
langsung, tetapi ada. Dengan demikian, akan didapatkan satu analisis dimensi
yang lebih lengkap dan komperhensif.
Penempatan atau pengategorian kejahatan pada
tingkat-tingkat tertentu dilihat dari hubungan antara bentuk kerugian, respon
hukum, korban dan reaksi sosial masyarakatnya. Semakin banyak faktor yang
diperhitungkan, dan ketika nilainya semakin kuat mempengaruhi, maka satu
perilaku tersebut masuk pada bagian yang paling mengerucut atau meningkat, dan
dianggap serius (lihat pada gambar, kategori a, b, dan c). Sementara itu,
ketika satu perilaku tidak menghasilkan satu dampak yang signifikan pada
beragam faktor tadi, dia akan menempati tingkatan yang lebih bawah, misalnya victimless
crime, yang tidak
menimbulkan kerugian pada orang lain.
Kerugian individu dan kerugian sosial menjadi aspek yang
paling penting, terutama pada prisma bagian atas, dalam penempatan tingkat
serius atau tidaknya satu perilaku sebagai kejahatan. Ketika satu perilaku
memunculkan kerugian yag permanen bagi korban, kemungkinan besar dia terletak
pada tingkat paling atas, sedangkan kerugian sementara akan menempati posisi
yang lebih bawah. Perilaku penyimpangan yang hanya memunculkan kerugian moral
dan tidak langsung, menempati tingkatan yang lebih bawah lagi. Jumlah atau
kuantitas dari kerugian atau respon yang dimunculkan juga mempengaruhi. Seperti
misalnya korupsi atau kejahatan lingkungan, yang tidak memberikan dampak
langsung, tetapi sangat signifikan merugikan bagi orang banyak, juga menempati
posisi yang paling tinggi (pada prisma bagian bawah), dan dengan oleh karenanya
koneskuensi hukum dan sanksi juga harus lebih tinggi.
Namun demikian,
kejahatan yang tidak jelas (atau bersifat abstrak) juga dapat masuk dalam
dimensi Prisma Kejahatan, dan akan menempati bagian yang lebih mengerucut
(menajam) sebagai bentuk gambaran peningkatannya, di prisma bagian bawah.
Misalnya, kejahatan pornografi anak, yang tidak dapat dilihat secara langsung,
tetapi dia ada, memunculkan korban yang bukan perorangan, dan melibatkan banyak
aspek bagi terjadinya. Kejahatan ini menempati posisi terbawah pada prisma
bagian bawah. Demikian juga dengan persoalan gender, yang masih menjadi
perdebatan, juga menpemati bagian terbawah dari sisi bawah prisma. Dengan kata
lain, semakin abstrak satu perilaku atau persoalan dalam konteksnya dengan
kejahatan, maka akan terletak pada posisi yang paling bawah. Ini lah
keistimewaan yang dimiliki oleh Prisma Kejahatan dalam usahanya mendefinisikan
perilaku kejahatan.
Previous....
Next....
Previous....
Next....